Beranda | Artikel
Testimoni Nasabah KPR Bank Syariah Ini Bukan Syariah Sesungguhnya!
Jumat, 1 September 2017

“Ini Bukan Syariah Sesungguhnya!”

Kerjasama kongsi dengan bank syariah sangat jauh dari syariah. Tak ubahnya bank konvensional berlabel syariah dan hanya meminjam istilah syariah. Berikut testimoni seorang nasabah bank syariah yang menyesal bekerjasama al-musyarakah dengan bank syariah untuk membeli rumah.

Oleh: Abdul Rahman Muslim

Memiliki rumah sendiri jadi impian setiap orang dan keluarga. Juga saya. Rumah adalah tempat bermukim dan berlindung bagi saya, istri dan anak-anak. Miniatur surga di dunia. Baiti jannati, rumahku surgaku, begitu kurang lebihnya.

Kami, pasangan muda dengan seorang anak perempuan berumur satu tahun, berusaha mewujudkan impian itu. Caranya, membeli rumah melalui lembaga pembiayaan, karena keuangan kami terbatas.

Keterbatasan kami juga pada ilmu agama. Kami tahu riba itu dosa besar. Tapi yang kami tahu, riba sebatas bunga, dan hanya pada bank serta lembaga pembiayaan konvensional. Berbekal takut akan riba, kami memutuskan membeli rumah dengan pembiayaan syariah di sebuah bank syariah terkemuka. Label syariah “menenangkan” hati kami. Kami percaya, semua hal di bank syariah itu sudah sesuai syariah.

Karena kurang paham ilmu agama. Hanya bermodal kepercayaan pada bank syariah itu. Akibatnya, tidak begitu memperhatikan setiap detail proses transaksi pembelian rumah itu. Apa itu al-musyarakah, ijarah, bagi hasil, dan lain sebagainya. Pokoknya, kami percaya 100 persen sudah sesuai syariah.

Setelah melalui proses cukup lama, pengajuan pembiayaan pembelian rumah itu akhirnya disetujui pihak bank. Dalam ketentuan yang disepakati, bank akan membiayai 90 persen dari total nilai rumah yang harganya ditaksir oleh pihak bank. Yang 10 persen kewajiban kami, yang dianggap uang muka. Oleh bank akad ini disebut musyarakah, atau sering diterjemahkan serikat/kongsi.

Oleh bank, aset yang berupa tanah dan rumah hasil kongsi statusnya disewakan. Bank menyewakan kepada kami selama 15 tahun, dan kami setiap bulan diwajibkan membayar sewa yang mereka istilahkan ujroh.

Uang sewa atau ujroh kelak akan dibagi hasilnya—90 persen untuk bank dan 10 persen untuk kami. Ujroh (sewa) bulanan yang harus kami bayar Rp 1.250.000. Bagi hasilnya, yang Rp 1.125.000 untuk bank dan Rp 125.000 untuk kami. Nilai Rp 125.000 selanjutnya diakumulasikan selama masa sewa. Jika sampai 15 tahun akhirnya mencapai nilai pinjaman yang diberikan bank kepada kami senilai Rp. 90.000.000.

Jika hasil ijaroh untuk kami selama 180 bulan atau 15 tahun ditotal, cicilan yang kami bayarkan ke bank mencapai Rp 226.733.400. Padahal bank syariah itu hanya meminjamkan Rp 90.000.000 kepada kami. Dengan demikian, bank itu mendapatkan keuntungan dari satu transaksi KPR dengan kami Rp 136.732.330. Allahu akbar, sungguh sangat banyak. Cukup untuk membeli dua rumah.

Kesimpulan sederhana: kami pinjam ke bank syariah Rp 90.000.000 dan harus mengembalikan Rp. 226.733.400, bukankah ini sangat mirip skema riba perbankan konvensional? Hanya saja dalam perbankan syariah skemanya dibuat sedemikian rupa dan menggunakan bahasa lebih halus mendekati syariah untuk menghilangkan aroma riba.

Akadnya Kongsi, tapi …     

Perjanjian kami dengan bank adalah kongsi. Kami berbagi keuntungan dengan bank. Rumah hasil kongsi itu statusnya milik berdua selama masa angsuran. Tentunya apabila terjadi kerugian, seharusnya saling berbagi kerugian antara kami dan bank. Tapi kenyataan tidak demikian. Segala bentuk kerusakan dan biaya renovasi rumah kami yang menanggung biayanya.

Yang lebih menyedihkan, bank syariah itu melempar tanggung jawab atas risiko kerugian kepada pihak asuransi. Pada awal kongsi, kami diwajibkan membayar premi ke pihak asuransi di atas Rp 1.000.000. Asuransi-lah yang akan membayar dana satuan atau klaim apabila terjadi kerugian atau kerusakan pada rumah tersebut—yang seharusnya kewajiban bank. Misal, risiko kebakaran.

Asuransi juga mencakup klaim kematian. Apabila nasabah penanggung biaya ijaroh meninggal dunia sebelum pinjamannya lunas, pihak asuransi akan melunasi sisa angsuran.

Dus, lengkaplah sudah ketidaksesuaiannya dengan akad semula. Dengan demikian, 100 persen bank syariah itu berada di zona sangat aman. Lepas dari risiko menanggung kerugian kerjasama.

Hal lain terkait dengan perkongsian kami dengan bank syariah itu adalah kami diwajibkan membuka rekening, yang tentunya ini jadi keuntungan tambahan bagi bank. Rekening ini untuk menampung dana pembayaran ijaroh kami setiap bulan. Kami diwajibkan mentransfer uang atau mengisi rekening itu sebelum tanggal pembayaran ijaroh jatuh tempo.

Apabila terlambat membayar, kami didenda. Dendanya per hari! Sebesar Rp 750 per hari. Menurut klausul perjanjian, dana denda itu akan disalurkan untuk dana sosial. Kami juga diwajibkan membayar biaya administrasi yang besarnya di atas Rp 1.000.000 ketika menandatangani naskah perjanjian. Sebesar itukah biaya administrasi, yang hanya berupa formulir di carik atau lembaran kertas? Pasti, bank syariah itu mengambil keuntungan dari carik-carik kertas itu.

Dari semua tanda tanya kami, muncul keraguan pada kami atas kesyariahan bank syariah. Jika disebut syariah, seharusnya tidak mungkin ada demikian banyak unsur kezaliman di sana! Kami yakin, ini bukan syariah sesungguhnya!

Dari pengalaman tersebut, kami belajar ilmu fikih tentang bentuk-bentuk kerjasama pembiayaan dan masalah perbankan syariah sesuai Al-quran dan Sunnah. Kami berkesimpulan, bentuk kerjasama kongsi kami dengan pihak bank syariah sangat jauh dari syariah. Hakikatnya tidak ubahnya bank konvensional yang diberi label syariah dan semua istilahnya diganti dengan istilah syariah.

Sungguh, kami ingin secepatnya menutup atau menghentikan perjanjian kongsi kami dengan bank syariah itu. Caranya, kami akan membayar seluruh kekurangan angsuran. Nilainya tidaklah sebesar apabila kami terus-menurus membayar ijaroh selama 180 bulan. Nilai untuk mengakhiri kongsi ini ada dalam tabulasi pembayaran yang diberikan pihak bank kepada kami.

Walaupun perjanjian kongsi kami akhiri dan kami membayar seluruh kekurangan kewajiban kami, bank itu tetap mendapat keuntungan (riba) dari sisa kewajiban kami, ditambah uang ujroh berjalan yang telah kami bayarkan. Semakin lama kami mengakhiri perjanjian kongsi, semakin besar pula keuntungan yang didapat bank itu.

Hanya satu yang meringankan: bank syariah itu tidak mempenalti kami—kami tidak membayar sejumlah uang denda sebagai konsekuensi kami menghentikan kongsi dengannya.

Semoga Allah Subhanahu wa  ta’ala mengampuni kebodohan dan ketikatahuan kami, serta  memudahkan urusan kami untuk segera mengakhiri perjanjian kongsi kami dengan bank. Sungguh, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan segala sesuatu dengan hikmah. Di antara hikmahnya, kami bisa membuat testimonial dan berbagi cerita ini. Termasuk kepada para pembaca “majalah pintar pengusaha Muslim” ini.

Demikianlah, semoga bermanfaat untuk kami dan kita semua, sebagai pembelajaran. Teriring doa, semoga perbankan syariah memperbaiki diri untuk benar-benar syariah dan bukan hanya sekadar berlabel syariah untuk menjaring nasabah. Wallahu’alam.***

PengusahaMuslim.com  .

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/6014-testimoni-nasabah-kpr-bank-syariah-ini-bukan-syariah-sesungguhnya.html